Beranda | Artikel
Hukum Membuat Jamaah Ke dua di Masjid bagi Jamaah yang Terlambat 
Minggu, 24 Mei 2020

Jika seseorang atau sekumpulan orang masuk masjid, dan mereka mendapati imam sudah selesai shalat jamaah, atau sudah tasyahhud akhir, maka boleh bagi orang tersebut untuk membuat jamaah ke dua. Yaitu, shalat jamaah bersama-sama dengan orang yang juga datang terlambat. Hal ini tidak masalah sama sekali, insyaa Allah. 

Akan tetapi, tidak sepatutnya mereka yang datang terlambat tersebut membuat jamaah baru jika imam masih dalam posisi duduk tasyahhud akhir, sampai imam benar-benar selesai shalat (telah salam). Hal ini agar tidak ada dua jamah sekaligus di satu masjid yang sama. Baik jamaah ke dua tersebut berada di satu sudut yang sama dengan imam pertama, ataukah di sudut masjid yang lain (selama masih di satu masjid). 

Dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya membuat jamaah ke dua di masjid

Kesimpulan di atas diambil dari perenungan terhadap dalil-dalil syariat yang menunjukkan motivasi agar umat itu bersatu dan tidak bercerai berai. Dari sini, kita ambil faidah bahwa mendirikan jamaah ke dua itu lebih utama dibandingkan mereka shalat sendiri-sendiri dan berpencar-pencar ketika shalat di dalam masjid. 

Dari sahabat ‘Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّ صَلَاةَ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ وَصَلَاتُهُ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ وَمَا كَثُرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى

“Sesungguhnya shalat seseorang yang berjamaah dengan satu orang itu lebih baik daripada shalat sendirian. Dan shalatnya bersama dua orang jamaah itu lebih baik daripada shalat bersama seorang jamaah. Semakin banyak jamaah, maka semakin dicintai oleh Allah Ta’ala.” (HR. Abu Dawud no. 554, An-Nasa’i no. 843, hadits hasan)

Hadits ini adalah dalil umum yang menunjukkan bahwa orang yang shalat bersama satu orang lain itu lebih baik daripada shalat sendirian. Maka termasuk dalam cakupan makna umum dari hadits tersebut adalah mendirikan jamaah ke dua bagi mereka yang terlambat bersama imam tetap di masjid (imam rawatib).

Dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang yang shalat sendirian (karena datang terlambat). Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

أَلَا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ

“Adakah seseorang yang mau bersedekah kepada orang ini dengan mengerjakan shalat bersamanya?” (HR. Abu Dawud no. 574, shahih)

Ibnu Khuzaimah rahimahullah membawakan hadits ini di bawah judul bab,

بَابُ الرُّخْصَةِ فِي الصَّلَاةِ جَمَاعَةً فِي الْمَسْجِدِ الَّذِي قَدْ جُمِعَ فِيهِ ضِدَّ قَوْلِ مَنْ زَعَمَ أَنَّهُمْ يُصَلُّونَ فُرَادَى إِذَا صَلَّى فِي الْمَسْجِدِ جَمَاعَةٌ مَرَّةً

“Bab keringanan membuat shalat jama’ah (ke dua) di masjid yang sudah dilaksanakan shalat berjama’ah, berlawanan dengan pendapat sebagian orang yang menyangka bahwasannya mereka shalat sendirian ketika shalat di masjid yang sudah mendirikan shalat jama’ah.” (Shahih Ibnu Khuzaimah, 3: 57)

Al-Baghawi rahimahullah berkata,

“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa boleh bagi orang yang telah shalat (wajib) berjamaah untuk shalat lagi ke dua kalinya bersama jamaah yang lain. Dan (hadits ini juga menunjukkan) bolehnya mendirikan shalat jamaah di satu masjid sebanyak dua kali. Ini adalah pendapat sejumlah shahabat dan tabi’in.” (Syarhus Sunnah, 3: 438)

Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

“Shalat jamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian sebanyak dua puluh tujuh derajat.” (HR. Bukhari no. 619 dan Muslim no. 650)

Hadits tersebut tegas menunjukkan keutamaan shalat berjamaah dibandingkan shalat sendirian. Dan keutamaan tersebut tidak memiliki syarat tambahan, misalnya bahwa selama shalat jamaah tersebut bukan shalat jamaah ke dua di satu masjid. Akan tetapi, keutamaan tersebut bersifat mutlak. 

Baca Juga: Keutamaan dan Kewajiban Shalat Berjamaah

Bagaimanakah praktek ulama salaf terdahulu

Demikian pula, inilah yang dipraktikkan oleh para salaf terdahulu. Mereka tentu saja adalah orang-orang yang paling paham terhadap dalil. Kita dapati mereka mendirikan shalat jamaah ke dua di masjid ketika shalat jamaah di masjid tersebut telah selesai dan mereka datang terlambat. 

Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau masuk masjid dan shalat jamaah telah usai. Lalu beliau radhiyallahu ‘anhu pun mendirikan shalat jamaah bersama ‘Alqamah, Masruq, dan Al-Aswad. [1]

Demikian pula sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ketika beliau masuk masjid dan shalat jamaah telah usai, beliau pun mengumandangkan adzan dan iqamat, lalu shalat berjamaah. [2]

Dari Ibnu Juraij, aku bertanya kepada Atha’, “Sekelompok orang masuk masjid di Mekah setelah shalat jamaah usai, baik ketika siang ataupun malam hari. Apakah salah seorang dari mereka menjadi imam (yaitu, boelhkah shalat jamaah?)”

Atha’ menjawab, “Iya (boleh). Apa masalahnya?” [3]

Baca Juga: Perhatikan Aroma Tubuh Sebelum Pergi Shalat Berjamaah

Benarkah sejumlah ulama salaf membenci adanya shalat jamaah ke dua di satu masjid?

Terkait dengan pendapat sebagian ulama salaf yang membenci adanya jama’ah ke dua dan jama’ah yang datang tersebut harus shalat sendirian, maka pendapat ini dimaknai jika hal itu dijadikan sebagai kebiasaan yang bersifat terus-menerus. Padahal, masjid tersebut sudah memiliki imam tetap. Model semacam inilah yang tidak diperbolehkan, karena hal ini akan menyebabkan rusaknya persatuan kaum muslimin di masjid tersebut. Sebagaimana hal itu juga akan menyebabkan perselisihan di hati kaum muslimin dan juga sikap meremehkan shalat berjama’ah bersama imam tetap. Bisa jadi sebagian jama’ah membenci seseorang sebagai imam shalat tetap, kemudian sengaja menunda dan meminta orang lain sebagai imam jama’ah shalat. Maka hal ini pun akan menyebabkan sedikitnya jumlah jama’ah yang mendirikan shalat bersama imam tetap. Inilah bentuk mendirikan jama’ah ke dua yang terlarang. 

Tidak diragukan lagi bahwa mendirikan shalat jama’ah ke dua dalam bentuk yang terus-menerus tersebut tidaklah terjadi di zaman sahabat radhiyallahu ‘anhum dan juga di masa para tabi’in rahimahullah. Perbuatan semacam itu baru terjadi di masa-masa setelahnya. Sehingga hal itu dinilai sebagai perbuatan bid’ah, sebagaimana ditegaskan oleh sebagian ulama, di antaranya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. [4]

Dan tentu saja, didirikannya jama’ah ke dua dewasa ini bukan karena ada niat dan maksud untuk memecah belah persatuan kaum muslimin atau karena sengaja ingin terlambat dari shalat jama’ah bersama imam tetap. Yang kita saksikan, kasus-kasus adanya jama’ah ke dua itu adalah di masjid-masjid pinggir jalan besar yang dilalui banyak musafir atau di pasar-pasar dan pusat perbelanjaan. Di masjid-masjid tersebut, mungkin saja tidak ada muadzin atau imam tetap. Sehingga jama’ah yang datang secara bergelombang, mereka akan mendirikan shalat jama’ah sesuai dengan kedatangannya ke masjid. Oleh karena itu, kalau kita berpegang pada pendapat yang menyatakan bolehnya jama’ah ke dua dengan bentuk-bentuk yang tadi disebutkan, tentu diperbolehkan. Apalagi, setiap kita dimotivasi untuk shalat secara berjama’ah. Wallahu Ta’ala a’lam. 

An-Nawawi rahimahullah berkata, 

أما إذا لم يكن له امام راتب فلا كراهة في الجماعة الثانية والثالثة وأكثر بالاجماع

“Jika di suatu masjid itu tidak memiliki imam tetap, maka tidaklah makruh mendirikan jama’ah ke dua, ke tiga, dan seterusnya. Hal ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan) ulama.” (Al-Majmu’, 4: 222)

Baca Juga:

[Selesai]

***

@Kantor YPIA, 10 Jumadil akhir 1441/ 4 Februari 2020

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (2: 323). Di kitab Bulughul Amaani (5: 344) disebutkan, “Sanadnya shahih.”

[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari secara mu’allaq. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya shahih mauquf.” (Taghlii At-Ta’liiq, 2: 277) Juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (2: 321) dan ‘Abdur Razaq (2: 291).

[3] Al-Muhalla, 4: 237-238; karya Ibnu Hazm rahimahullah. 

[4] Lihat Majmu’ Al-Fataawa, 23: 258.

[5] Pembahasan ini kami sarikan dari kitab Ahkaam Khudhuuril Masaajid karya Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafidzahullah, hal. 186-191 (cetakan ke empat tahun 1436, penerbit Maktabah Daarul Minhaaj, Riyadh KSA). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Artikel asli: https://muslim.or.id/56684-hukum-membuat-jamaah-ke-dua-di-masjid-bagi-jamaah-yang-terlambat.html